Guruku-Imamku:
Mengupas
Sisi Kepemimpinan (Leadership)
Seorang Guru
Zulfikri Anas, Puskurbuk, Kemdikbud
Email : fikrieanas@yahoo.com
Blog :
http://fikrieanas.wordpress.com/
Facebook.com/zulfikri.anas
HP:
08121032210
Bagian I : Profil
Seorang Guru
DalamBahasa
Sanskerta “GURU” merupakan sebutan untuk “ruang atau tempat” suci di mana ilmu
pengetahuan dan segenap komponen pembangkit “kekuatan” manusia tersimpan. GU =
GELAP, RU =PERANG/MENGUSIR/MENGHANCURKAN. Ketika makna ini “ditempelkan”kepada
sosok manusia, maka GURU bermakna orang yang “memerangi kegelapan”. Fungsi
utamanya “penerang dalam kegelapan”
Guru...ku
Semakin
gelap situasi yang ada di sekitarmu, kehadiranmu makin bermakna, martabatmu akan
segera “melompat” naik ke tempat yang suci dan terhormat, tempat --yang
hanya-- disediakan bagi orang-orang
pilihan yang mengikhlaskan dirinya sebagai penerang bagi orang lain. Keringat yang Anda kucurkan akan mengalir ke seluruh kehidupan
dan menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang yang berada dalam kegelapan itu.
Helaan nafasmu menebar semangat luhur yang dirindukan para murid-muridmu.
Orang
yang tadinya “tersesat” dan sedang menuju “kehancuran” kini kembali menemukan
jalannya yang sesungguhnya, jalan yang
tadinya terhalang aura gelap, kini terang benderang akibat sentuhan, senyuman,
dan “pelukan” hangatmu. Sangatlah pantas podium kehormatan itu hanya
diperuntukkan bagi orang-orang sepertimu, mereka yang menjadi pelita penerang
bagi kegelapan orang lain.
Selamat
atas kehormatan yang melekat pada dirimu, guruku!.
Ketika
Engkau sukses memerangi kegelapan, Engkau segera “beranjak”
ke tempat yang “lebih gelap” dan “lebih pekat”, Engkau sapa
murid-muridmu yangtengah menunggu dalam
keadaan haus, lapar, dan mungkin saja beringas. “Jika mereka terlihat
tak bersahabat dan beringas, adalah sangat wajar karena mereka sedang terjepit
dan terpinggirkan”, begitu pikiranmu ketika menghampiri mereka. Senyuman dan tatapan matamu menjadi setetes
embun yang menyejukkan hati mereka, dan menjadi seteguk air yang melepaskan
dahaga mereka.
Guruku,
Engkau sangat menyadari bahwa “jika aku lebih memilih untuk tetap berdiam diri tempat
yang sudah terang, maka pelan-pelan cahaya yang aku miliki menjadi hilang
ditelan bayanganku sendiri”, demikian tekadmu!.
Energi
yang Engkau keluarkan akan mendorong martabat dan kehormatanmu untuk terus naik
dan mendekat pada-Nya. Semakin rumit persoalan anak-anak murid yang Engkau hadapi, semakin besar energi yang Engkau
keluarkan, maka semakin besar peluang Engkau untuk menebar kebaikan, dan dengan sendirinya engkau
telah memperlebar jalanmu sendiri untuk menuju kesuksesan hidup sebagai
pendidik sejati yang diridhai Illahi. Semua ini akan membawamu makin dekat
dengan Nya. Syurga menanti!
Bagian II: Guru Seorang
Pemimpin
Guru
adalah “murid pertama” dari segala apa yang ia ucapkan dan ia lakukan. Sebelum menuntut anak berdisiplin, guru dulu
yang harus disiplin, sebelum menuntut siswa santun, guru dulu yang harus
santun, sebelum menuntut anak rajin, guru dulu yang harus rajin, sebelum anak
dituntut rajin membaca, guru dulu yang harus menunjukkan bahwa ia memang gemar
membaca. Guru adalah pemimpin yang diteladani oleh murid-muridnya.
Sebagai
seorang pemimpin, guru adalah suri tauladan bagi muridnya. Setiap perkataan,
perbuatan, perilaku, tindakan yang dilakukan oleh guru akan menjadi sumber
inspirasi bagi muridnya. Jika guru menjadi sumber inspirasi yang baik, berarti
guru telah menebar kebaikan yang akan mendapat balasan yang melebihi kebaikan
yang ia berikan karena kebaikan yang ia tanamkan akan tumbuh dan terus
menyebar. Namun jika guru menjadi sumber inspirasi yang “tidak baik”, berarati
guru telah menebar keburukan, dan ia pun segera akan mendapat balasan yang
melebihi “keburukan” yang ia tebarkan karena keburukan itu akan terus tumbuh
dan menyebar.Pepatah lama: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Menampilkan
pribadi yang baik disetiap kesempatan merupakan ciri kepribadian yang melekat
pada guru. Bila ini dilakaukan, murid-murid, orang tua dan masyarakat akan mengidolakan
guru. Apabila guru sudah menjadi idolbagi murid-mrudnya, sesulit apapun materi
pelajaran yang disampaikan akan menjadi mudah dipahami oleh murid-muridnya.
Sebaliknya, apabila guru menjadi sosok yang “ditakuti” murid, semudah apapun
yang disampaikan guru, akan sulit dipahami siswa.
Bagian III: Makna
Hadiah dan Hukuman dalam Pendidian
Pernahkah
kita menyadari kebohongan yang dilakukan
oleh anak-anak kita berawal dari diri kita. Menagapa anak berbohong kepada
orang tuanya? Dari penelitian “kecil-kecilan” tentang hal ikhwal kebohongan
anak disimpulkan ternyata alasan utama anak berbohong adalah “karena takut
dimarahi, takut dihukum, takut tidak dibelikan mainan, takut tidak
diajak jalan-jalan, takut dikucilkan teman”.
Mengapa anak berbohong kepada temanya atau orang lain?: “karena takut
dimusuhi, takut dijelek-jelekan, dan “pamer” atau tidak mau kalah dari orang
lain. Ketika teman mereka bercerita
tentang orang tuanya yang “wah” atau cerita tentang liburan ke luar negeri, si
anak yang mendengarkan tidak mau kalah, ia bercerita tentang serunya diajak
pamanya liburan ke luar negeri, ia bercerita dengan bangga meskipun itu hanya
cerita karanganya saja (Puspitarini, 2015)
Fenomena
ini menggambarkan bahwa “berbohong” merupakan
cara ampuh untuk “ menyelamatkan diri” dari rasa malu dan “menghindari diri” dari hukuman. “Penelitian kecil” ini sudah
cukup untuk menguatkan pandangan bahwa “hukuman” yang kita “andalkan” untuk
menyadarkan anak dari kesalahan, justeru menjadi kontraproduktif terhadap penanaman
nilai-nilai kejujuran.
“Kemarin
kamu memecahkan pot kembang kesayangan mamamu, lalu kamu bilang kucing yang
menjatuhkannya, mengapa kamu berbohong?, tanya seorang tante pada keponakanya.
“Kalau aku jujur, aku tidak jadi diajak jalan-jalan oleh mama ke luar kota,
padahal aku sudah sangat senang, jalan-jalan itu merupakan hadiah yang
dijanjikan mama dan papa jika aku berhasil meraih prestasi belajar yang
tinggi”, jawab anak dengan polos!.
“Mengapa
kamu berbohong?”, tanya seorang teman pada saksi di pengadilan, temanya ini tahu
persis bahwa kesaksianya palsu. “Jika aku
jujur mengatakan apa adanya, aku malah jadi repot, aku akan ditanya
macam-macam, nah kalau aku tiba-tiba salah bicara?, khan jadi susah aku”, jawabnya
dengan enteng!
Banyak
kejadian sehar-hari, dari peristiwa kecil sampai peristiwa besar yang
membuktikan bahwa “bohong” adalah “sang penyelamat”!.
Saatnya
kita mengoreksi penerapan “reward dan punishment” dalam pendidikan. Pada saat
ini, “reward dan punishment” justeru menjadi trend di dunia pendidikan. Hampir semua lembaga
pendidikan menggantungkan pembiasaan disiplin pada pola ini. Di depan gerbang masuk sekolah, tidak jarang
kita jumpai belasan atau puluhan butir kalimat-kalimat sanksi hukuman jika
siswa melanggar peraturan. Salah satu bentuk yang paling “bergengsi” adalah
hukuman point, setiap kali anak melakukan kesalahan, ia akan dapat point minus,
dan sifatnya akumulatif selama satu semester, jika si anak mendapat point minus
di atas 75% anak terancam tidak naik kelas, dan jika melebihi 90%, ia akan
dikeluarkan. Ini dianggap dan menjadi pilihan “terbaik” oleh sekolah ebagai
pengganti hukuman fisik, banyak sekolah yang menghindari hukuman fisik,
salah-salah bisa berurusan dengan pihak yang berwajib.
Seberapa
efektifkah pendekatan “reward dan punishment” dalam pendidikan?. Apa yang
kita harapkan sesungguhnya dari anak?,
takut karena sanksi atau “literasi penuh” , anak menyadari sepenuhnya
bahwa setiap tindakan kita memiliki konsekuensi dan harus dipertanggungjawabkan?
Jika berbuat baik karena takut dihukum, kemungkinan besar tidak akan muncul
kesadaran yang sesungguhnya. Berbuat baik hanya untuk terhindar dari hukuman,
begitu ada kesempatan untuk mengelabui siapapun, kejahatan itu akan dilakukan,
lalu, “berbohong” jika ia mendapat tuduhan. Selamatlah ia dari hukuman. “kesuksesan pertama, akan
diikuti dengan kesuksesan berikut, kebohongan pertama akan disusul oleh
kebohongan berikut, demikian seterusnya.
“Jika
anak berbuat salah, dan kemudian ia mengaku telah melakukan kesalahan, tindakan
paling baik adalah memberikan apresiasi terlebih dahulu atas kejujuranya, dan
lakukan pendekatan kasih sayang untuk “menyadarkannya” atas segala resiko atau
akibat dari kesalahan yang ia lakukan (konsekuensi natural terhadap apa yang telah
ia lakukan). Ini akan mendorong tumbuhnya kesadaran anak untuk berperilaku
jujur (honest feels good)”.
Ini
antara lain kesimpulan yang disepakati
dalam diskusi tim kecil di KPK beberapa minggu yang lalu. Diskusi ini digelar
oleh bagian Litbang KPK dalam rangka mengembangkan model pendididkan menanamkan
nilai-nilai kejujuran pada anak usia 4-9 tahun, hadir BU Alisa Wahid
(Psikolog), Bu Tri Puspitarini (Psikolog), dan teman-teman dari tim KPK yang
dimotori oleh Bu Elih dan Bu Sari dkk. Diskusi ini baru langkah awal dalam
rangka menemukan strategi implementasi penanaman nilai-nilai kejujuran yang
efektif sejak usia dini.
Lalu
apa pandangan Ki Hajar Dwantara tentang “Hukuman dalam pendidikan”?, berikut
beberapa kutipannya:
“Hukuman seboleh-bolehnya dihindari,
kalau kita memberikan ganjaran tujuannya
adalah untuk menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab atau konsekuensi dari
tindakan yang dilakukan anak. Hukuman harus selaras dengan kesalahan anak
(naturalijk), apabila anak terlambat, maka ia harus mundur pulang, sementara
anak yang boleh pulang, jika tulisanya tidak rapi, ia harus menulisnya sampai
rapih. Hukuman yang bersifat balas dendam sama sekali harus dihindari, misalnya
menghukum anak menulis “aku tidak akan terlambat lagi” sebanyak 50 atau seratus
kali, ini hukuman yang berbentuk siksaan, pembalasan dengan kekejaman, demikian
juga dengan hukuman berdiri satu kaki di belakang papan tulis, lama kelamaan
anak akan hilang kecintaanya kepada orang tua atau guru yang menghukum karena
merasa tidak dicintai oleh orang tua dan guru. Hal ini yang sering dilupakan
oleh guru atau orang tua yang maunya instan. Akibatnya, anak-anak bukanya menyadari
dan menyesal telah melakukan kesalahan, malahan justeru menjadi sombong
dan merasa senang jika orang lain repot, dan seringkali mereka merasa gagah
berani karena dapat menyusahkan atau
merepotkan orang tua/guru mereka”.Kutipan ini dimuat di “Wasita Mei 1929, Jilid I No. 8 yang
ditulis ulang dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,
Yogyakarta, 1977:400-403)
Betapa baiknya masa kecil
seorang anak yang dilalui dengan penuh aktivitas dan penuh “kenakalan” sehingga
padamasa dewasanya akan menjadi orang yang tenang dan penyabar (Rasulullah
SAW). Keaktifan, kelincahan, dan “kenakalan” anak pada masa kecilnya menandakan
ketajaman akal pada masa dewasanya
(Rasulullah SAW).
Anak-anak bisa jadi karena
ketakutanya terhadap hukuman,secara lahir akan menghindari dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, tetapi secara sembunyi-sembunyi akan tetap
mengabadikan perbuatan tak terpujinya yang kemudian akan mengarah sesuatu yang
lebih berbahaya, yaitu menjadi seorang pembohong, penipu, atau melakukan
sesuatu hanya karena menginginkan pujian dari orang lain.
Pada prinsipnya anak bukanlah
penyebab terjadinya kekacauan tetapi penyebabnya adalah ketidaktahuan orang
dewasa (orang tua dan guru) terhadap apa
yang seharusnya mereka lakukan.
Islam lebih menekankan kepada
cara-cara kelembutan, kesabaran, dan kasih sayang dari pada cara-cara lain
dalam mendidik anak, meskipun dalam kasus-kasustertentu, menampakkan
ketidaksenangan dan mentang kesalahan anakpun diperlukan, tentunya dengan
cara-cara yang benar dan pantas.
Pemberian hukuman dalam bentuk jasmani dan non jasmanipun tidak
dianjurkan. (Disarikan dari buku
“Menjadi Orang Tua Pendidik” , Reza Farhadian, 2005: hal 33-86).
Memberikan
apresiasi kepada anak ketika anak mengakui kesalahanya adalah cara terbaik dan
kita perlu hati-hati sekali dalam memberikan “hukuman” atau “ganjaran” terhadap
kesalahan yang dilakukan anak, salah-salah justeru membuat ia “bebal” dan
keseringan menerima “hukuman” dapat mengakibatkan anak menjadi
orang yang “kebal hukum” saat ia dewasa nanti!
Itulah
yang kita rasakan saat ini!, mereka menjadi pembohong yang hebat, tanpa merasa
bersalah walau pengadilan sudah membuktikan keterlibatanya dalam kasus korupsi,
gratifikasi, dan pencucian uang. Sambil tersenyum sumringah, ia dengan santai
melambai-lambaikan tangan ketika disorot kamera TV, “saya ini korban!”.
Bagian IV: Pengalaman
Pahit Selama Bersekolah
Sekolah
adalah miniatur kehidupan masyarakat di masa depan. Segala sesuatu yang dialami
semasa sekolah akan membekas dan disimpan sampai dewasa. Semua pengalaman itu
akan berpengaruh terhadap cara berfikir anak, jika pengalaman tersebut
berdampak negatif pada cara berfikir anak, dosa kita “tak terampuni. Berikut
contoh pengalaman pahit yang dirasakan oleh anak-anak semasa bersekolah.
·
Ada
guru yang mengajar dengan kaku, tidak bisa mengakui kalau muridnya yang benar
dan dia sudah salah memaksakan apa yang dipahaminya kepada muridnya. Suatu kali
ada soal mana yang lebih berat 5 kg besi dengan 5 kg kapas, guru tersebut
memaksakan jawabanya 5 kg besi dan tidak menerima jawaban muridnya, yaitu sama
berat.
·
I used to hate school hingga saya SMA. Baru
pada saat kuliah saya belajar dengan gigih karena saya merasa untuk
pertamakalinya saya memiliki kebebasan belajar sesuai dengan minat tulus saya.
·
Ketika
saya sekolah perhatian hanya terpaku pada pelajaran-pelajaran yang dianggap
penting untuk kelulusan sehingga siswa tidak diajak berkembang sesuai dengan
minat, bakat, dan potensi yang dimilikinya.
·
Pengalamannya
ketika bapak/ibu guru memberikan nilai yang baik kepada siswanya hanya karena
ikut les yang dipunyai oleh guru
tersebut.
·
Pembelajaran
yang membosankan karena siswa disusruh mencatat yang didiktekan oleh guru, dan
kebanyakan yang aktif hanya guru dan beberapa murid saja. Guru kurang
bersemangat untuk menggali potensi murid-murid yang lain. Dan untuk
penilaiannyapun sangat standar. Kurangnya motivasi dari guru juga membuat
murid-murid tidak terlalu bersemangat belajar, cenderung semaunya sendiri
·
Siswa
jadi kurang kreatif, takut bermimpi dan berimajinasi akhirnya takut
bercita-cita.
·
Ketika
saya tidak bisa melakukan penghitungan kemudian dihukum di depan kelas. Saya
jadi merasa benci dengan guru yang bersangkutan dan mata pelajaran tersebut.
Bagian V: Berkomitmen dengan Diri Sendiri
Menurut
Jensen Sinamo, ada 8 setos keguruan menurut Jensen Sinamo, yaitu:
RAHMAT,
aku mengajar dengan ikhlas penuh syukur.
Merupakan
kesadaran dan pengakuan bahwa profesi keguruan adalah anugerah Tuhan karena itu
harus disyukuri karena menjadi guru adalah peluang besar bagi kita untuk
menebar kebajikan dan amal. Bekerja sekaligus beramal, ibadah sepanjang waktu.
Pintu syorga terbuka lebar.
AMANAH,
aku mengajar dengan benar dan penuh tanggung jawab.
Sekali
saya melakukan kesalahan, kesalahan itu akan berantai, dan bila itu terjadi,
kegagalan anak adalah “dosa yang harus saya pikul, untuk itu saya akan
menjalankan tugas sebagai guru ini sebagai amanah yang harus saya pelihara.
PANGGILAN,
aku mengajar tuntas penuh integritas.
Menjadi
guru bukan karena tidak ada pekerjaan lain, menjadi guru adalah keinginan yang
datang dari dalam diri saya sehingga apapun tantangan yang dihadapi, akan saya
jalani dengan penuh percaya diri, pantang
kendor apalagi mundur, seperti akar halus yang kuat menembus tanah yang
keras, tanah yang keras bukan halangan, ia akan terus berjalan mnusuk ke dalam
tanah, itu saya lakukan karena semua itu memang tugas saya.
AKTUALISASI,
aku mengajar dengan serius penuh semangat.
Menjagi
guru adalah peluang saya untuk membuktikan bahwa kehadiran saya memang
betul-betul bermakna bagi yang lain. Menjadi guru adaah jalan untuk mendapatkan
kehormatan yang tidak ternilai.
IBADAH,
aku mengajar dengan cinta penuh dedikasi.
Setiap
menit dan waktu serta energi yang saya keluarkan dalam mendampingi siswa adalah
peluang ibadah. Dengan menjadi guru saya bisa beribadah setiap saat. Ketika
saya berhasil membantu anak keluar dari kesulitan,itu menjadi amal yang tidak
ternilai dengan apapun.
SENI,
aku mengajar dengan cerdas penuh kreativitas.
Menghadapi
anak didik yang beragam adalah sebuah seni yang indah, semakin beragam kondisi
anak, semakin beragam perilaku mereka, semakin unik yang mereka tampilkan, saya
semakin bersemangat karena hari-hari saya dipenuhi warna-warni kehidupan,
dengan demikian, apa yang saya lakukan terhadap anak, tak ubahnya sebuah karya
seni yang indah.
KEHORMATAN,
aku mengajar dengan tekun penuh keunggulan.
Guru
tidak pernah kehilangan koehormatan karena kehadiran membuat orang yang tadinya
tidak terhormat karena tidak bisa apa-apa, di tangan saya, anak yang tidak bisa
apa-apa itu menjadi bisa melakukan segala sesuatu. Jika orang yang saya didik
mampu menjadi orang terhormat, apalagi saya yang mendidik mereka. Untuk itu,
menjadi guru adalah ladang kehormatan.
PELAYANAN,
aku mengajar sebaik-baiknya penuh kerendahan hati.
Guru
adalah pelayan, murid adalah “raja” yang akan kita layani. Semakin bagus layanan
kita, semakin besar rahmat yang kita terima. Semakin besar energi yang kita
gunakan untuk melayani siswa, semakin besar peluang saya menebar kebajikan,
berarti semakin besar peluang saya mendapat rahmat. Untuk itu, sebagai guru,
layanilah anak tanpa pamrih, kita akan mendapat ketenangan dan keberkahan yang
tiada tara.
(Dikembangkan
dari pemikiran Jensen Sinamo).
Bagian VI : Doa untuk
Guru:
Guruku.....doa
kami untukmu.....mengiringi
langkah-langkah sucimu yang telah
membawa kami dari lembah kegelapan menuju puncak yang terang benderang. Engkau
terhormat bukan karena dihormati orang lain, dan Engkau tidak pernah menuntut
itu, kehormatanmu justeru terpancar dari apa yang telah engkau lakukan sekalipun orang yang engkau terangi tidak
pernah menghormatimu, bahkan mungkin justeru mereka memojokkan karena ingin
menyingkirkanmu. Namun engkau tetap
tegar!
Guru
ku...Engkau imamku yang telah membuka
jalan bagiku menuju kesucian hati,
keikhlasan jiwa , dan segudang ilmu sebagai bekal bagiku untuk mengharungi
kehidupan yang penuh tantangan ini!
Sungguh mulia hatimu, terimakasih GURU!
Hanya
orang-orang pilihan yang memiliki kesempatan untuk menjadi guru. Mari kita
berbuat SETULUS HATI, SEPENUH JIWA,
dengan TOTALITAS menjadi GURU. Jadilah GURU yang DICINTAI ketika ada, DIRINDUKAN
ketika tidak ada, dan DIKENANG setelah tiada. Lakukanlah SEKARANG,
karena esok belum tentu datang dan kemarin tak pernah kembali. Hidup ini
teramat singkat….
Selamat
dan Sukses Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar