Guruku-Imamku: - Bang Ilmiah

Breaking

Bang Ilmiah

(tempatnya gudang ilmu)

Subscribe Us

ads header

Selasa, 29 November 2016

Guruku-Imamku:

Guruku-Imamku:
Mengupas Sisi Kepemimpinan (Leadership) Seorang Guru
Zulfikri Anas, Puskurbuk, Kemdikbud
Email : fikrieanas@yahoo.com
Blog : http://fikrieanas.wordpress.com/
Facebook.com/zulfikri.anas
HP:  08121032210

Bagian I : Profil Seorang Guru

DalamBahasa Sanskerta “GURU” merupakan sebutan untuk “ruang atau tempat” suci di mana ilmu pengetahuan dan segenap komponen pembangkit “kekuatan” manusia tersimpan. GU = GELAP, RU =PERANG/MENGUSIR/MENGHANCURKAN. Ketika makna ini “ditempelkan”kepada sosok manusia, maka GURU bermakna orang yang “memerangi kegelapan”. Fungsi utamanya  “penerang dalam kegelapan”

Guru...ku

Semakin gelap situasi yang ada di sekitarmu, kehadiranmu makin bermakna, martabatmu akan segera “melompat” naik ke tempat yang suci dan terhormat, tempat --yang hanya--  disediakan bagi orang-orang pilihan yang mengikhlaskan dirinya sebagai penerang bagi orang lain. Keringat  yang Anda  kucurkan akan mengalir ke seluruh kehidupan dan menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang yang berada dalam kegelapan itu. Helaan nafasmu menebar semangat luhur  yang dirindukan para murid-muridmu.

Orang yang tadinya “tersesat” dan sedang menuju “kehancuran” kini kembali menemukan jalannya  yang sesungguhnya, jalan yang tadinya terhalang aura gelap, kini terang benderang akibat sentuhan, senyuman, dan “pelukan” hangatmu. Sangatlah pantas podium kehormatan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang sepertimu, mereka yang menjadi pelita penerang bagi  kegelapan orang lain.

Selamat atas kehormatan yang melekat pada dirimu, guruku!.

Ketika Engkau sukses memerangi kegelapan, Engkau segera  “beranjak”  ke tempat yang “lebih gelap” dan “lebih pekat”, Engkau sapa murid-muridmu yangtengah menunggu dalam  keadaan haus, lapar, dan mungkin saja beringas. “Jika mereka terlihat tak bersahabat dan beringas, adalah sangat wajar karena mereka sedang terjepit dan terpinggirkan”, begitu pikiranmu ketika menghampiri mereka.  Senyuman dan tatapan matamu menjadi setetes embun yang menyejukkan hati mereka, dan menjadi seteguk air yang melepaskan dahaga mereka.

Guruku, Engkau sangat menyadari bahwa “jika aku lebih memilih untuk tetap berdiam diri tempat yang sudah terang, maka pelan-pelan cahaya yang aku miliki menjadi hilang ditelan bayanganku sendiri”, demikian tekadmu!.

Energi yang Engkau keluarkan akan mendorong martabat dan kehormatanmu untuk terus naik dan mendekat pada-Nya. Semakin rumit persoalan anak-anak murid yang Engkau  hadapi, semakin besar energi yang Engkau keluarkan, maka semakin besar peluang Engkau  untuk menebar kebaikan, dan dengan sendirinya engkau telah memperlebar jalanmu sendiri untuk menuju kesuksesan hidup sebagai pendidik sejati yang diridhai Illahi. Semua ini akan membawamu makin dekat dengan Nya. Syurga menanti!


Bagian II: Guru Seorang Pemimpin

Guru adalah “murid pertama” dari segala apa yang ia ucapkan dan ia lakukan.  Sebelum menuntut anak berdisiplin, guru dulu yang harus disiplin, sebelum menuntut siswa santun, guru dulu yang harus santun, sebelum menuntut anak rajin, guru dulu yang harus rajin, sebelum anak dituntut rajin membaca, guru dulu yang harus menunjukkan bahwa ia memang gemar membaca. Guru adalah pemimpin yang diteladani oleh murid-muridnya.

Sebagai seorang pemimpin, guru adalah suri tauladan bagi muridnya. Setiap perkataan, perbuatan, perilaku, tindakan yang dilakukan oleh guru akan menjadi sumber inspirasi bagi muridnya. Jika guru menjadi sumber inspirasi yang baik, berarti guru telah menebar kebaikan yang akan mendapat balasan yang melebihi kebaikan yang ia berikan karena kebaikan yang ia tanamkan akan tumbuh dan terus menyebar. Namun jika guru menjadi sumber inspirasi yang “tidak baik”, berarati guru telah menebar keburukan, dan ia pun segera akan mendapat balasan yang melebihi “keburukan” yang ia tebarkan karena keburukan itu akan terus tumbuh dan menyebar.Pepatah lama: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.

Menampilkan pribadi yang baik disetiap kesempatan merupakan ciri kepribadian yang melekat pada guru. Bila ini dilakaukan, murid-murid, orang tua dan masyarakat akan mengidolakan guru. Apabila guru sudah menjadi idolbagi murid-mrudnya, sesulit apapun materi pelajaran yang disampaikan akan menjadi mudah dipahami oleh murid-muridnya. Sebaliknya, apabila guru menjadi sosok yang “ditakuti” murid, semudah apapun yang disampaikan guru, akan sulit dipahami siswa.


Bagian III: Makna Hadiah dan Hukuman dalam Pendidian

Pernahkah kita menyadari  kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak kita berawal dari diri kita. Menagapa anak berbohong kepada orang tuanya? Dari penelitian “kecil-kecilan” tentang hal ikhwal kebohongan anak disimpulkan ternyata alasan utama anak berbohong adalah  “karena takut  dimarahi, takut dihukum, takut tidak dibelikan mainan, takut tidak diajak jalan-jalan, takut dikucilkan teman”.  Mengapa anak berbohong kepada temanya atau orang lain?: “karena takut dimusuhi, takut dijelek-jelekan, dan “pamer” atau tidak mau kalah dari orang lain.  Ketika teman mereka bercerita tentang orang tuanya yang “wah” atau cerita tentang liburan ke luar negeri, si anak yang mendengarkan tidak mau kalah, ia bercerita tentang serunya diajak pamanya liburan ke luar negeri, ia bercerita dengan bangga meskipun itu hanya cerita karanganya saja (Puspitarini, 2015)

Fenomena  ini menggambarkan bahwa “berbohong” merupakan cara ampuh untuk “ menyelamatkan diri” dari rasa malu dan “menghindari diri”  dari hukuman. “Penelitian kecil” ini sudah cukup untuk menguatkan pandangan bahwa  “hukuman” yang kita “andalkan” untuk menyadarkan anak dari kesalahan, justeru menjadi kontraproduktif terhadap penanaman nilai-nilai kejujuran.

“Kemarin kamu memecahkan pot kembang kesayangan mamamu, lalu kamu bilang kucing yang menjatuhkannya, mengapa kamu berbohong?, tanya seorang tante pada keponakanya. “Kalau aku jujur, aku tidak jadi diajak jalan-jalan oleh mama ke luar kota, padahal aku sudah sangat senang, jalan-jalan itu merupakan hadiah yang dijanjikan mama dan papa jika aku berhasil meraih prestasi belajar yang tinggi”, jawab anak dengan polos!.

“Mengapa kamu berbohong?”, tanya seorang teman pada saksi di pengadilan, temanya ini tahu persis bahwa kesaksianya palsu. “Jika aku  jujur mengatakan apa adanya, aku malah jadi repot, aku akan ditanya macam-macam, nah kalau aku tiba-tiba salah bicara?, khan jadi susah aku”, jawabnya dengan enteng!

Banyak kejadian sehar-hari, dari peristiwa kecil sampai peristiwa besar yang membuktikan bahwa “bohong” adalah “sang penyelamat”!.

Saatnya kita mengoreksi penerapan “reward dan punishment” dalam pendidikan. Pada saat ini, “reward dan punishment” justeru menjadi trend  di dunia pendidikan. Hampir semua lembaga pendidikan menggantungkan pembiasaan disiplin pada pola ini.  Di depan gerbang masuk sekolah, tidak jarang kita jumpai belasan atau puluhan butir kalimat-kalimat sanksi hukuman jika siswa melanggar peraturan. Salah satu bentuk yang paling “bergengsi” adalah hukuman point, setiap kali anak melakukan kesalahan, ia akan dapat point minus, dan sifatnya akumulatif selama satu semester, jika si anak mendapat point minus di atas 75% anak terancam tidak naik kelas, dan jika melebihi 90%, ia akan dikeluarkan. Ini dianggap dan menjadi pilihan “terbaik” oleh sekolah ebagai pengganti hukuman fisik, banyak sekolah yang menghindari hukuman fisik, salah-salah bisa berurusan dengan pihak yang berwajib.

Seberapa efektifkah pendekatan “reward dan punishment” dalam pendidikan?. Apa yang kita harapkan sesungguhnya dari anak?,  takut karena sanksi atau “literasi penuh” , anak menyadari sepenuhnya bahwa setiap tindakan kita memiliki konsekuensi dan harus dipertanggungjawabkan? Jika berbuat baik karena takut dihukum, kemungkinan besar tidak akan muncul kesadaran yang sesungguhnya. Berbuat baik hanya untuk terhindar dari hukuman, begitu ada kesempatan untuk mengelabui siapapun, kejahatan itu akan dilakukan, lalu, “berbohong” jika ia mendapat tuduhan. Selamatlah ia  dari hukuman. “kesuksesan pertama, akan diikuti dengan kesuksesan berikut, kebohongan pertama akan disusul oleh kebohongan berikut, demikian seterusnya.

“Jika anak berbuat salah, dan kemudian ia mengaku telah melakukan kesalahan, tindakan paling baik adalah memberikan apresiasi terlebih dahulu atas kejujuranya, dan lakukan pendekatan kasih sayang untuk “menyadarkannya” atas segala resiko atau akibat dari kesalahan yang ia lakukan (konsekuensi natural terhadap apa yang telah ia lakukan). Ini akan mendorong tumbuhnya kesadaran anak untuk berperilaku jujur (honest feels good)”.

Ini antara lain kesimpulan yang  disepakati dalam diskusi tim kecil di KPK beberapa minggu yang lalu. Diskusi ini digelar oleh bagian Litbang KPK dalam rangka mengembangkan model pendididkan menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak usia 4-9 tahun, hadir BU Alisa Wahid (Psikolog), Bu Tri Puspitarini (Psikolog), dan teman-teman dari tim KPK yang dimotori oleh Bu Elih dan Bu Sari dkk. Diskusi ini baru langkah awal dalam rangka menemukan strategi implementasi penanaman nilai-nilai kejujuran yang efektif sejak usia dini.

Lalu apa pandangan Ki Hajar Dwantara tentang “Hukuman dalam pendidikan”?, berikut beberapa kutipannya:

“Hukuman seboleh-bolehnya dihindari, kalau kita memberikan ganjaran  tujuannya adalah untuk menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab atau konsekuensi dari tindakan yang dilakukan anak. Hukuman harus selaras dengan kesalahan anak (naturalijk), apabila anak terlambat, maka ia harus mundur pulang, sementara anak yang boleh pulang, jika tulisanya tidak rapi, ia harus menulisnya sampai rapih. Hukuman yang bersifat balas dendam sama sekali harus dihindari, misalnya menghukum anak menulis “aku tidak akan terlambat lagi” sebanyak 50 atau seratus kali, ini hukuman yang berbentuk siksaan, pembalasan dengan kekejaman, demikian juga dengan hukuman berdiri satu kaki di belakang papan tulis, lama kelamaan anak akan hilang kecintaanya kepada orang tua atau guru yang menghukum karena merasa tidak dicintai oleh orang tua dan guru. Hal ini yang sering dilupakan oleh guru atau orang tua yang maunya instan. Akibatnya, anak-anak bukanya  menyadari  dan menyesal telah melakukan kesalahan, malahan justeru menjadi sombong dan merasa senang jika orang lain repot, dan seringkali mereka merasa gagah berani karena  dapat menyusahkan atau merepotkan orang tua/guru mereka”.Kutipan ini dimuat di “Wasita Mei 1929, Jilid I No. 8 yang ditulis ulang dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta, 1977:400-403)


Betapa baiknya masa kecil seorang anak yang dilalui dengan penuh aktivitas dan penuh “kenakalan” sehingga padamasa dewasanya akan menjadi orang yang tenang dan penyabar (Rasulullah SAW). Keaktifan, kelincahan, dan “kenakalan” anak pada masa kecilnya menandakan ketajaman akal  pada masa dewasanya (Rasulullah SAW).

Anak-anak bisa jadi karena ketakutanya terhadap hukuman,secara lahir akan menghindari dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang menyimpang, tetapi secara sembunyi-sembunyi akan tetap mengabadikan perbuatan tak terpujinya yang kemudian akan mengarah sesuatu yang lebih berbahaya, yaitu menjadi seorang pembohong, penipu, atau melakukan sesuatu hanya karena menginginkan pujian dari orang lain.

Pada prinsipnya anak bukanlah penyebab terjadinya kekacauan tetapi penyebabnya adalah ketidaktahuan orang dewasa (orang tua dan guru)  terhadap apa yang seharusnya mereka lakukan.

Islam lebih menekankan kepada cara-cara kelembutan, kesabaran, dan kasih sayang dari pada cara-cara lain dalam mendidik anak, meskipun dalam kasus-kasustertentu, menampakkan ketidaksenangan dan mentang kesalahan anakpun diperlukan, tentunya dengan cara-cara yang benar dan pantas.  Pemberian hukuman dalam bentuk jasmani dan non jasmanipun tidak dianjurkan.  (Disarikan dari buku “Menjadi Orang Tua Pendidik” , Reza Farhadian, 2005: hal 33-86).

Memberikan apresiasi kepada anak ketika anak mengakui kesalahanya adalah cara terbaik dan kita perlu hati-hati sekali dalam memberikan “hukuman” atau “ganjaran” terhadap kesalahan yang dilakukan anak, salah-salah justeru membuat ia “bebal” dan keseringan menerima “hukuman” dapat mengakibatkan anak  menjadi  orang yang “kebal hukum” saat ia dewasa nanti!

Itulah yang kita rasakan saat ini!, mereka menjadi pembohong yang hebat, tanpa merasa bersalah walau pengadilan sudah membuktikan keterlibatanya dalam kasus korupsi, gratifikasi, dan pencucian uang. Sambil tersenyum sumringah, ia dengan santai melambai-lambaikan tangan ketika disorot kamera TV, “saya ini korban!”.

Bagian IV: Pengalaman Pahit Selama Bersekolah

Sekolah adalah miniatur kehidupan masyarakat di masa depan. Segala sesuatu yang dialami semasa sekolah akan membekas dan disimpan sampai dewasa. Semua pengalaman itu akan berpengaruh terhadap cara berfikir anak, jika pengalaman tersebut berdampak negatif pada cara berfikir anak, dosa kita “tak terampuni. Berikut contoh pengalaman pahit yang dirasakan oleh anak-anak semasa bersekolah.

·         Ada guru yang mengajar dengan kaku, tidak bisa mengakui kalau muridnya yang benar dan dia sudah salah memaksakan apa yang dipahaminya kepada muridnya. Suatu kali ada soal mana yang lebih berat 5 kg besi dengan 5 kg kapas, guru tersebut memaksakan jawabanya 5 kg besi dan tidak menerima jawaban muridnya, yaitu sama berat.
·         I used to hate school hingga saya SMA. Baru pada saat kuliah saya belajar dengan gigih karena saya merasa untuk pertamakalinya saya memiliki kebebasan belajar sesuai dengan minat tulus saya.
·         Ketika saya sekolah perhatian hanya terpaku pada pelajaran-pelajaran yang dianggap penting untuk kelulusan sehingga siswa tidak diajak berkembang sesuai dengan minat, bakat, dan potensi yang dimilikinya.
·         Pengalamannya ketika bapak/ibu guru memberikan nilai yang baik kepada siswanya hanya karena ikut les yang dipunyai  oleh guru tersebut.
·         Pembelajaran yang membosankan karena siswa disusruh mencatat yang didiktekan oleh guru, dan kebanyakan yang aktif hanya guru dan beberapa murid saja. Guru kurang bersemangat untuk menggali potensi murid-murid yang lain. Dan untuk penilaiannyapun sangat standar. Kurangnya motivasi dari guru juga membuat murid-murid tidak terlalu bersemangat belajar, cenderung semaunya sendiri
·         Siswa jadi kurang kreatif, takut bermimpi dan berimajinasi akhirnya takut bercita-cita.
·         Ketika saya tidak bisa melakukan penghitungan kemudian dihukum di depan kelas. Saya jadi merasa benci dengan guru yang bersangkutan dan mata pelajaran tersebut.

Bagian V:  Berkomitmen dengan Diri Sendiri

Menurut Jensen Sinamo, ada 8 setos keguruan menurut Jensen Sinamo, yaitu:

RAHMAT, aku mengajar dengan ikhlas penuh syukur.

Merupakan kesadaran dan pengakuan bahwa profesi keguruan adalah anugerah Tuhan karena itu harus disyukuri karena menjadi guru adalah peluang besar bagi kita untuk menebar kebajikan dan amal. Bekerja sekaligus beramal, ibadah sepanjang waktu. Pintu syorga terbuka lebar.

AMANAH, aku mengajar dengan benar dan penuh tanggung jawab.

Sekali saya melakukan kesalahan, kesalahan itu akan berantai, dan bila itu terjadi, kegagalan anak adalah “dosa yang harus saya pikul, untuk itu saya akan menjalankan tugas sebagai guru ini sebagai amanah yang harus saya pelihara.

PANGGILAN, aku mengajar tuntas penuh integritas.

Menjadi guru bukan karena tidak ada pekerjaan lain, menjadi guru adalah keinginan yang datang dari dalam diri saya sehingga apapun tantangan yang dihadapi, akan saya jalani dengan penuh percaya diri, pantang  kendor apalagi mundur, seperti akar halus yang kuat menembus tanah yang keras, tanah yang keras bukan halangan, ia akan terus berjalan mnusuk ke dalam tanah, itu saya lakukan karena semua itu memang tugas saya.

AKTUALISASI, aku mengajar dengan serius penuh semangat.

Menjagi guru adalah peluang saya untuk membuktikan bahwa kehadiran saya memang betul-betul bermakna bagi yang lain. Menjadi guru adaah jalan untuk mendapatkan kehormatan yang tidak ternilai.

IBADAH, aku mengajar dengan cinta penuh dedikasi.

Setiap menit dan waktu serta energi yang saya keluarkan dalam mendampingi siswa adalah peluang ibadah. Dengan menjadi guru saya bisa beribadah setiap saat. Ketika saya berhasil membantu anak keluar dari kesulitan,itu menjadi amal yang tidak ternilai dengan apapun.

SENI, aku mengajar dengan cerdas penuh kreativitas.

Menghadapi anak didik yang beragam adalah sebuah seni yang indah, semakin beragam kondisi anak, semakin beragam perilaku mereka, semakin unik yang mereka tampilkan, saya semakin bersemangat karena hari-hari saya dipenuhi warna-warni kehidupan, dengan demikian, apa yang saya lakukan terhadap anak, tak ubahnya sebuah karya seni yang indah.

KEHORMATAN, aku mengajar dengan tekun penuh keunggulan.

Guru tidak pernah kehilangan koehormatan karena kehadiran membuat orang yang tadinya tidak terhormat karena tidak bisa apa-apa, di tangan saya, anak yang tidak bisa apa-apa itu menjadi bisa melakukan segala sesuatu. Jika orang yang saya didik mampu menjadi orang terhormat, apalagi saya yang mendidik mereka. Untuk itu, menjadi guru adalah ladang kehormatan.

PELAYANAN, aku mengajar sebaik-baiknya penuh kerendahan hati.

Guru adalah pelayan, murid adalah “raja” yang akan kita layani. Semakin bagus layanan kita, semakin besar rahmat yang kita terima. Semakin besar energi yang kita gunakan untuk melayani siswa, semakin besar peluang saya menebar kebajikan, berarti semakin besar peluang saya mendapat rahmat. Untuk itu, sebagai guru, layanilah anak tanpa pamrih, kita akan mendapat ketenangan dan keberkahan yang tiada tara.

(Dikembangkan dari pemikiran Jensen Sinamo).


Bagian VI : Doa untuk Guru:

Guruku.....doa kami  untukmu.....mengiringi langkah-langkah sucimu  yang telah membawa kami dari lembah kegelapan menuju puncak yang terang benderang. Engkau terhormat bukan karena dihormati orang lain, dan Engkau tidak pernah menuntut itu, kehormatanmu justeru terpancar dari apa yang telah engkau lakukan  sekalipun orang yang engkau terangi tidak pernah menghormatimu, bahkan mungkin justeru mereka memojokkan karena ingin menyingkirkanmu.  Namun engkau tetap tegar!

Guru ku...Engkau imamku yang telah  membuka jalan bagiku menuju  kesucian hati, keikhlasan jiwa , dan segudang ilmu sebagai bekal bagiku untuk mengharungi kehidupan yang penuh tantangan ini!  Sungguh mulia hatimu, terimakasih GURU!

Hanya orang-orang pilihan yang memiliki kesempatan untuk menjadi guru. Mari kita berbuat SETULUS HATI, SEPENUH JIWA,  dengan TOTALITAS menjadi GURU. Jadilah GURU yang  DICINTAI ketika ada,    DIRINDUKAN  ketika tidak ada, dan DIKENANG setelah tiada. Lakukanlah SEKARANG, karena esok belum tentu datang dan kemarin tak pernah kembali. Hidup ini teramat singkat….


Selamat dan Sukses Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar